Tujuh kiat sederhana yang dapat membantu kita mengatur anggaran belanja keluarga.
Kita perlu lebih lihai mengatur anggaran belanja keluarga mengingat semakin sulit mencari penghasilan sementara pengeluaran semakin besar akibat harga barang dan jasa semakin mahal. Bukan hanya kelihaian yang kita perlukan, namun juga taufik dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Harus pula ada dukungan dan kerjasama anggota keluarga.
Berikut ini beberapa kiat yang menurut saya dapat membantu kita mengatur anggaran belanja keluarga.
Pertama, tunaikan hak Allah terlebih dahulu
Hak Allah meliputi zakat (jika telah memenuhi nishob dan haul), kaffarat atau nadzar. Semuanya harus ditunaikan sesegera mungkin begitu syarat-syarat dan aturannya terpenuhi. Dengan menunaikannya, harta kita akan diberkahi, sehingga yang sedikit akan terasa banyak; dan yang banyak akan terasa semakin banyak. Allah berfirman,
(خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا)
yang artinya, “Pungutlah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat tadi, engkau (Muhammad) membersihkan dan menyucikan mereka…” (QS. At-Taubah: 103)
Maksudnya, zakat akan membersihkan dari dosa-dosa dan perilaku tercela. Juga akan menjadikan pelakunya semakin baik akhlaknya, semakin banyak amal shalihnya, semakin banyak pahalanya di dunia dan akhirat, serta semakin berkembang hartanya. (Lihat: Tafsir As-Sa’di; 1/350)
Lebih baik lagi jika selain zakat kita juga membiasakan bersedekah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
(ما نقص مالُ عبدٍ مِن صدقة) “
Harta seorang hamba tidak akan berkurang karena sedekah.“( HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani). Siapa yang menyisihkan hartanya untuk sedekah, pasti akan mendapat tambahan, berkah, dan ganti dari Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
(ما من يوم يُصبح العباد فيه، إلا ملكانِ ينزلان، فيقول أحدهما: اللهم أعطِ منفقًا خلفًا، ويقول الآخر: اللهم أعط ممسكًا تلفًا)
“Tiap kali pagi menjelang, ada dua malaikat yang turun dari langit. Salah satunya berkata, ‘Ya Allah, berilah ganti kepada orang yang menginfakkan hartanya.’ Sedangkan yang satu lagi berkata, ‘Ya Allah, musnahkan harta orang yang tidak mau berinfak.’” (Muttafaq ‘alaih)
Jadi, alangkah baiknya jika kita dapat menyisihkan penghasilan kita dan memberikannya kepada kerabat atau tetangga, kawan, atau yayasan sosial yang membutuhkan. Lebih baik lagi jika kita ikut andil dalam pembebasan tanah wakaf dan yang sejenisnya, sehingga pahala kita akan mengalir terus, harta terasa berkah, dan kita dijauhkan dari banyak penyakit dan bencana. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
(صنائع المعروف تقي مصارع السوء والآفات والهلكات) “
Perbuatan ma’ruf akan menjaga pelakunya dari su’ul khatimah, penyakit, dan bencana.” (HR. Ahmad, Al Hakim, Ibnu Khuzaimah, dll; disahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah As-Shahihah; 3/264)
Kedua, tunaikan hak orang lain
Bila menanggung utang, bersegeralah melunasinya begitu jatuh tempo dan ada rezeki. Demikian pula hak-hak manusia lainnya seperti ongkos sewa, gaji pegawai, nafkah keluarga, dan semisalnya. Jangan sampai utang ditunda-tunda pelunasannya. Apalagi berutang dengan niat memakan harta orang secara batil. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَن أخذ أموال الناس يريد أداءها، أدَّى الله عنه، ومَن أخذ يريد إتلافها، أتلفه الله)
“Barangsiapa mengambil harta orang (berutang) dengan niat melunasinya, niscaya Allah akan melunasinya. Namun barangsiapa mengambilnya dengan niat menghabiskannya, Allah akan menghabisinya.” (HR. Bukhari)
Ingatlah, utang dapat mencegah diterimanya amal sahabat yang berjihad bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas bagaimana dengan amal kita yang tak ada apa-apanya dibandingkan amal mereka? Hindarilah utang sebisa mungkin. Kalaupun terpaksa berutang, catatlah dalam catatan khusus. Dan begitu ada kesanggupan melunasi sebagian, segeralah melunasinya dan jangan ditunda.
Ketiga, tabunglah sebagian penghasilan
Jangan biasakan menghabiskan seluruh penghasilan. Tabunglah walau sedikit untuk mengantisipasi pengeluaran mendadak, atau dalam rangka mengumpulkan modal untuk membuka usaha baru.
Keempat, atur daftar belanja dan pembelian
Jangan turuti nafsu berbelanja. Nafsu manusia seperti anak-anak. Jika menginginkan sesuatu, kita akan berusaha mendapatkannya segera. Tapi biasakan memperhitungkan manfaat dan madharatnya setiap hendak membeli sesuatu. Diriwayatkan, Umar Ibn Khattab Radhiyallahu anhu pernah berkata kepada Jabir ketika melihatnya membawa daging, “Apa itu hai, Jabir?” tanya Umar Ibn Khattab. “Aku ingin makan daging, maka aku membelinya,” jawab Jabir. “Apakah setiap menginginkan sesuatu engkau membelinya?” tanya Umar Ibn Khattab.
Rrenungkanlah terlebih dahulu sebelum membeli. Boleh jadi kita tidak membutuhkannya dalam waktu dekat dan menganggapnya kurang bermanfaat. Buatlah skala prioritas terhadap kebutuhan bulanan. Demikian pula kebutuhan tahunan dan musiman. Urutkan semua kebutuhan; mulai dari yang primer, lalu sekunder, dan seterusnya. Kalau perlu, bikinlah jadwal kapan akan memenuhi semua kebutuhan tadi saat kondisi ekonomi mengizinkan.
Salah satu bencana yang kerap melanda keluarga Muslim hari ini adalah ketika pusat-pusat perbelanjaan menjadi tujuan wisata. Hal ini menyebabkan mereka terjerat dalam perangkap banting harga dan diskon yang ditawarkan berbagai toko. Akhirnya mereka terpaksa merogoh saku untuk sesuatu yang tidak diperlukan. Kalaupun terpaksa harus ke supermarket atau pusat perbelanjaan, buatlah daftar barang yang benar-benar diperlukan, dan hindari gaya hidup konsumtif.
Kelima, hindari pembelian secara kredit
Jangan membeli sesuatu kecuali bila memiliki cukup dana untuknya. Jangan terperangkap dalam kredit selama bisa membeli secara tunai.Walaupun membeli secara kredit (mencicil) dibolehkan secara syariat, tidak berarti kita boleh menjerumuskan diri ke dalam utang yang tidak dapat dilunasi.
Keenam, atur pengeluaran pribadi untuk istri dan anak-anak
Alangkah baiknya jika bisa menyisihkan bagian tertentu dari penghasilan kita sebagai nafkah pribadi untuk istri dan anak-anak. Dengan begitu, kita tidak mengurangi jatah pribadi mereka maupun jatah bersama. Patokan nafkah dalam hal ini ialah standar kelayakan yang sesuai kondisi ekonomi masing-masing. Allah berfirman, yang artinya,
(لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا )
“Hendaklah masing-masing memberi nafkah sesuai kelonggaran ekonominya. Ada pun bagi orang yang sempit rezekinya, maka hendaklah memberi nafkah dari apa yang Allah berikan kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan apa yang diberikan-Nya. Dan kelak Allah akan memberi kelonggaran setelah kesempitan.” (QS. At-Thalaq: 7)
Salah satu kekeliruan yang sering menjerumuskan keluarga ialah bila istri menuntut ini dan itu tanpa memerhatikan penghasilan suaminya. Padahal yang diminta kadang bersifat pelengkap saja, bukan sesuatu yang primer maupun sekunder. Tak jarang sikap ini menjerumuskan suami ke dalam perbuatan haram seperti korupsi dan kolusi (suap). Oleh karena itu, alangkah baiknya jika masing-masing menentukan batas pengeluaran pribadinya dan tidak melanggarnya semaksimal mungkin.
Penting juga untuk membatasi uang saku anak-anak dan melatih mereka membelanjakannya untuk kepentingan mereka sendiri. Kemudian melatih mereka menabung sebagian uang sakunya. Mendidik anak bukanlah dengan menuruti semua kemauan mereka – walaupun mubah – sebab dengan begitu kita justru melatih mereka untuk boros dan menghambur-hamburkan uang.
Ketujuh, dalam urusan dunia, lihatlah ke bawah; jangan ke atas
Sesempit apa pun kondisi ekonomi kita, yakinlah bahwa di sana masih banyak keluarga yang lebih sempit ekonominya dari kita. Cobalah kita hitung nikmat Allah yang ada pada kita dan berapa nilai nikmat tersebut jika kita harus membayarnya? Kalau penghasilan kita pas-pasan namun kita diberi kesehatan, sebenarnya kondisi ekonomi kita tak jauh beda dengan mereka yang berpenghasilan besar namun sakit-sakitan. Apalagi jika ia berpenghasilan kecil. Lihatlah selalu orang yang di bawah kita dalam hal dunia, agar kita lebih menghargai nikmat Allah dan lebih mensyukurinya.
Wallaahu ta’ala a’lam.
Ditulis oleh DR. Sufyan Basweidan, M.A. (Beliau adalah dosen SEKOLAH TINGGI DIRASAT ISLAMIYAH (STDI) IMAM SYAFI’I – Jember)